PERSILANGAN MELAYU BUGIS: TELAAH DINAMIKA SOSIAL POLITIK KERAJAAN JOHOR-PAHANG-RIAU-LINGGA

PERSILANGAN MELAYU BUGIS: TELAAH DINAMIKA SOSIAL POLITIK KERAJAAN JOHOR-PAHANG-RIAU-LINGGA
Pengarang
Saepuddin, M.Ag Editor: Doni Septian, S.Sos.,M.IP
ISBN
978-623-91002-6-1
Email
pppm.stainkepri@gmail.com
Diterbitkan
STAIN SULTAN ABDURRAHMAN PRESS
Sinopsis

Buku yang ada di tangan pembaca ini mengupas tentang Persilangan Melayu Bugis: Telaah Dinamika Sosial Politik Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga.
Sebenarnya sudah banyak buku sejarah Melayu yang beredar. Namun buku yang khusus mengupas kajian sejarah sosial kerajaan Islam Melayu masih langka. Kebanyakan pembahasannya terkait bidang bidang bahasa, kebudayaan, serta historisitas secara umum. Oleh sebab itu, menurut saya, akan lebih baik jika di lakukan kajian dengan pendekatan sosial yang lebih banyak untuk sejarah di Kepulauan Riau dan Nusantara. Pendekatan sosial dengan beragam teori sosial sebagai ilmu bantunya diyakini akan mampu memberikan kontribusi positif dalam penulisan historigrafi Melayu dan Nusantara.
Kajian ini berangkat dari pandangan bahwa perkembangan suatu negara tergantung dengan dinamika politik yang terjadi. Sedangkan dinamika politik tersebut terjadi karena ada dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang terkadang dapat memberikan dampak besar terhadap sejarah perjalan negara. Fenomena ini juga dialami oleh kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga pada kurun waktu 1699-1913 M. Kerajaan yang merupakan lanjutan dari kerajaan Sriwijaya ini juga telah mengalami pasang surut dinamika sosial politik sejak kerajaan itu berdiri. Salah satu titik kisar dalam perubahan politik itu ialah masuknya kalangan bangsawan Bugis dalam struktur pemerin-tahan pada 1699.
Peristiwa sejarah tersebut telah memberikan dampak terhadap dinamika perubahan sosial politik yang terjadi di kerajaan Johor-Pahang-Riau dan menjadi cikal-bakal dari sistem baru pemerintahan. Konflik perebutan kekuasaan, mampu menyatukan dua suku bangsa yang berbeda untuk mengambil alih kekuasaan dan membagi-baginya sesuai kesepakatan. Sejak saat itu, secara turun temurun ketuturan dari bangsawan Bugis tersebut menjadi bagian penting dalam dinamika politik, khususnya era kolonialisme bangsa Eropa ke nusantara. Sehingga, dikotomi antara Bugis dan Melayu pun mulai hilang dan masyarakat bisa hidup berbaur satu sama lain tanpa memandang kesukuan yang menjerumus pada primordialisme. Darah mereka juga tidak lagi murni Melayu dan juga Bugis. Namun, pe-nanda bahwa secara patriarki mereka bernasab pada orang tua yang Melayu dan Bugis itu ditandai nama atau gelaran di depan nama, seperti “Tengku”dan “Engku”untuk keturunan Melayu dan“Raja”untuk keturunan Bugis. Gelar Raja itu juga sesuatu yang baru hadir setalah kedatangan Bugis.
Dengan demikian, maka para perantau di tanah Melayu yang hadir di era kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga sudah menjadi Melayu seutuhnya. Walaupun kini mereka bisa menemukan nasab hingga ke bangsawan Bugis dari Opu Daeng yang Lima, namun mereka telah tumbuh dan hidup dalam tradisi dan adat istiadat Melayu. Demikian juga dengan etnis-etnis lain, mereka yang datang ketika era kerajaan dan masih memiliki turun temurun hingga saat ini, mereka talah menjadi bagian Melayu. Konteks pemahaman yang demikian ini, akan menghilangkan gap primordialisme dan sukuisme di setiap daerah. Multietnis yang ada di daerah justru harus dimaknai sebagai beberagaman yang perlu dirawat. Begitu juga multukulturalisme yang ada di daerah juga harus dijaga dan dirawat bersama agar keragaman tersebut menjadi potensi dan energy positif dalam melahirkan masyarakat Madani yang maju, makmur, aman dan damai. Pengalaman Indonesia modern ini perlu kiranya untuk mengambil contoh dari pengalaman yang pernah terjadi di Riau-Lingga. Situasi politik di setiap daerah di Indonesia saat ini sering kali mengusung isu-isu primordialisme, kesukuan dan agama yang sering kali dalam bentuk bahasa “putera daerah”. Dalam hal primordialisme dan kesukuan, bahkan ada upaya kuat untuk kait-mengaitkan nasab keturunan dengan keabsahan nasab untuk disebut sebagai putera daerah. Liberalisasi politik di Indonesia justru mengantarkan pembangkitan kembali isu-isu primordialisme dan agama sebagai isu seksi. Terjadinya kekerasan selama pemilihan umum dan pemilihan kepada daerah seringkali karena kuatnya isu primordialisme yang sudah di sekat-sekat sedemikian rupa untuk membangun penyempitan makna kesukuan dan kedaerahan. Dalam politik saat ini juga terjadi pergolakan, misalnya calon kepala daerah antara pulau A dan pulau B, menjadi pertengkaran karena penyempinan itu daerah yang di lakuakan masing-masing tim dalam membangun fanatisme pendukungnya. Akibatnya, dinamika sosial menjadi tidak seimbang karena sistem tercemar oleh penguatan isu yang memecah belah. Pada akhirnya, semoga buku ini memberikan manfaat dan menjadi amal jariah. Amin.

BACA BUKU